Sebagai guru bangsa, kita tahu arah pemikiran Buya adalah
untuk menghargai kemajemukan bangsa. Buya menghilangkan batas agama, suku, ras,
dan ormas untuk ketahanan dan kepaduan negara ini. Tanpanya, kita sebagai
bangsa mungkin sudah terkoyak dan tercerai karena keegoisan agama, suku, ras,
dan ormas. Suara lantang Buya untuk melawan diskriminasi dari dulu hingga
sekarang adalah bukti nyata untuk Indonesia yang lebih damai.
Buya juga kritis. Buya tidak segan-segan mengkritik orang
lain atau lembaga terhadap hal-hal yang dia yakini sudah keluar jalur dan
terlewat batas. Bahkan kepada orang yang terdekat sekalipun seperti Muhammadiyah
dan Majelis Ulama Indonesia sekalipun. Isunya pasti tentang pluralisme dan
toleransi.
Bagi Buya, agama mesti termanifestasi dalam kehidupan setiap
yang beragama. Perintah agama tentang menghargai sesama dan toleransi terhadap
perbedaan adalah perintah Tuhan yang paling dekat dengan kita namun kita alpa,
masih jauh panggang daripada api. Hadirnya Buya mungkin adalah karunia Tuhan
kepada Bangsa sebagai penyampai pesan perdamaian.
Dilihat di sisi lain, Buya adalah orang yang sangat
sederhana. Kesederhanaannya tergambar saat naik Kereta Rel Listrik (KRL) ke
Istana Bogor atau bersepeda untuk menghadiri acara penting. Kesederhanaanya
dikagumi dan dihormati. Sangat bertolak belakang dengan oknum petinggi agama
yang mengajarkan tentang hidup zuhud, sederhana, dan tidak duniawi-oriented,
namun dia sendiri sangat silau dengan kemewahan. lima taqūlūna mā lā tafʿalūn?
(kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?) QS. al-Ṣaff: 2.
Selamat jalan Guru Bangsa. Warisan pemikiranmu adalah semangat kami untuk Indonesia yang damai dan toleran.

