6.9.22

Belajar dari Sejarah Kaum Intelektual Minangkabau

Dewasa ini, kerap sekali pemberitaan miring mengenai polarisasi Muslim di Minangkabau. Umumnya Muslim Minangkabau dibagi menjadi dua kategori ikut kaum Tua dan ikut Kaum Muda. Polarisasi ini semakin tajam membelah masyarakat terutama sesudah datangnya tiga orang haji yang kembali dari tanah Mekah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Kondisi ini semakin membuat dua pola dalam Masyarakat Minangkabau khususnya sampai sekarang.

Kaum tua dianggap sebagai penganut cara beragama yang tradisional, sedangkan kaum muda dianggap sebagai penganut cara beragama yang modern. Pertentangan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis dianggap tidak akan mencapai kesepakatan oleh sebagian orang. Hal itu tentu tidak benar. 

Buya Hamka menceritakan kisah persahabatan ayahnya (Haji Abdul Karim Amrullah) sebagai representasi kaum muda Minangkabau dengan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) sebagai representasi kaum tua Minangkabau. Meskipun terjadi perdebatan antara mereka berdua, mereka tetap sahabat dekat. Bersamaan dengan Ulama yang lainnya, kedua kaum yang dianggap tidak akan pernah akur ini justru bahu-membahu mengantarkan Minangkabau ke masa-masa puncak intelektualitasnya.

Ulama lain, Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) yang juga semasa dengan mereka tampak tidak terlalu menajamkan perselisihan antara kaum muda dan kaum tua karena pada dasarnya ulama-ulama yang digolongkan sebagai kaum muda dan tua adalah sahabat yang sedang berbeda pendapat mengenai isu-isu yang berkembang saat itu.

Majalah al-Bayan yang dipimpin Inyiak Parabek adalah salah satu bukti kuat bahwa Syekh Ibrahim Musa tidak terlalu ambil pusing masalah-masalah khilafiyah yang berkembang. Fokus tulisan yang dimuat dalam surat kabar al-Bayan kebanyakan adalah soal kajian hukum Islam dan akhlak.

Hamka menjelaskan kedekatan yang hangat sudah terjalin antara ayahnya, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, dan Syekh Ibrahim Musa dalam satu bab orang yang menentangnya di dalam buku yang berjudul “Ayahku”. Sikap Belanda waktu itu yang dianggap mulai agak lain kepada Umat Islam mulai merapatkan barisan semuanya, membuat tiga tokoh ini berjanji akan membawa umat ini menuju satu tujuan yang disepakati bersama yaitu persatuan dan pangkal persatuan sangat mudah menurut Hamka yaitu dengan kerap kali kita sejalan (berdialog).

Ada yang bilang bahwa sejarah akan terulang dengan pola yang sama tapi dengan tokoh yang berbeda. Agaknya, pepatah itu benar adanya bahwa dewasa ini apa yang terjadi pada masa lampau seolah dejavu. Namun, jika yang berseteru pada zaman dahulu adalah tokoh yang memiliki intelektualitas tinggi sekarang yang berseteru adalah orang yang punya intelektualitas yang cetek, ilmu yang dangkal, dan sedikit baca.

Orang-orang itu adalah yang belajar hanya kepada guru yang dia senangi dan dia percaya bahwa dialah orang yang menyampaikan kebenaran absolut, yang berlainan pendapat adalah salah dan sudah keluar dari kebenaran. Orang-orang itu adalah yang belajar pakai satu buku tanpa membaca buku yang lainnya. Dengan modal seperti itu, sangat mudah bagi mereka membuat fatwa yang keliru dan mudah menyesatkan orang lain hanya karena berbeda sudut pandang. Agama itu luas. Mempersempit agama hanya akan membuat kita menjadi susah dan kesulitan. Padahal, Tuhan ciptakan kemudahan dalam agama itu sendiri. Fasʾalū ahl al-dzikr in kuntum lā taʿlamūn (Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui).

Menuju ke zaman sekarang, seyogyanya masyarakat Minangkabau sudah banyak mendapatkan pelajaran dan hikmah dari apa yang terjadi pada masa lalu. Perdebatan dan perbedaan yang eksis sekarang ini semestinya tidak dibawa terlalu dalam sehingga mengakibatkan putusnya tali silaturahmi antara sesama. Putusnya tali silaturahmi merupakan tanda orang yang tidak akan masuk surga sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Nabi “tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.”

Klaim kebenaran dan pemegang pintu surga mestinya dibuang jauh-jauh. Persoalan politis juga semestinya disikapi dengan arif dan bijak, permasalahan-permasalahan kecil seperti amaliyah fikih yang berbeda sudah mesti disikapi sewajarnya. Sebagai masyarakat Minangkabau sudah semestinya falsafah Minangkabau tentang hubungan baik antar manusia itu dilaksanakan. Petatah-petitih yang biasa disebut dan dilantunkan itu tidak boleh hanya sebagai bualan semata, dia mesti direpresentasikan kedalam tiap-tiap diri orang Minangkabau.*