11.9.22

Study The Book of Mabādī Awwaliyah (Introduction of Islamic Law Methodology) by Abdul Hamid Hakim (Part 1)

Introduction

The Mabādī Awwaliyah book was written by a well-known Muslim scholar from West Sumatra named Abdul Hamid Hakim. His customary title is Tuanku Mudo. He was born in Sumpur, Tanah Datar. He was also one of the favorite students of Haji Rasul, a prominent Muslim scholar in Minangkabau. Some of his written works in Arabic are Mabādī Awwaliyah, al-Sullam, al-Bayān, al-Hidāyah 'alā mā Yanbaghī min al-Ziyadah 'alā al-Hidāyah, and Tahdzīb al-Akhlāq.

The Mabādī Awwaliyah book is still being printed today as an introduction to Islamic law methodology in Islamic Schools. Not only in West Sumatra, this book is also studied in various regions of the archipelago.

In the first part, this book explains the  Islamic law methodology, including the understanding of law to ijtihad. Furthermore, this book discusses about forty Islamic jurisprudence (fiqh) principles ranging from the principles about intentions to the rules that everything is permissible in its origin.

About Islamic Law Methodology

Uṣūl al-fiqh consists of two words, namely uṣūl and fiqh. From a linguistic point of view, it is something that stands on it, something like a tree whose roots are in the ground. Likewise, fiqh stands on uṣūl al-fiqh or other analogies, a tree branch that is attached to a big tree. So the big tree is uṣūl al-fiqh and the many branches of the tree are fiqh.

In terms, uṣūl is something that is obtained globally, such as the command to pray through the word of God "and establish prayer." This postulate as a theory that all commands are obligations or prohibitions such as "indeed the carcass is forbidden to you." As the basis of the theory every carcass is haram.

The difference with fiqh is that fiqh is obtained from detailed arguments and ijtihād such as the words of the Prophet ""Actions are (judged) by motives (niyyah)" as it is obligatory to intend when going to do wuḍūʾ. In contrast to the law that is not obtained through ijtihād, according to him (the author) it is not fiqh such as the obligation to pray or prohibition for adultery. Knowledge consists of five levels, namely ʿilm, ann, shak, jahl, wahm, and jahl.*




6.9.22

Belajar dari Sejarah Kaum Intelektual Minangkabau

Dewasa ini, kerap sekali pemberitaan miring mengenai polarisasi Muslim di Minangkabau. Umumnya Muslim Minangkabau dibagi menjadi dua kategori ikut kaum Tua dan ikut Kaum Muda. Polarisasi ini semakin tajam membelah masyarakat terutama sesudah datangnya tiga orang haji yang kembali dari tanah Mekah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Kondisi ini semakin membuat dua pola dalam Masyarakat Minangkabau khususnya sampai sekarang.

Kaum tua dianggap sebagai penganut cara beragama yang tradisional, sedangkan kaum muda dianggap sebagai penganut cara beragama yang modern. Pertentangan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis dianggap tidak akan mencapai kesepakatan oleh sebagian orang. Hal itu tentu tidak benar. 

Buya Hamka menceritakan kisah persahabatan ayahnya (Haji Abdul Karim Amrullah) sebagai representasi kaum muda Minangkabau dengan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) sebagai representasi kaum tua Minangkabau. Meskipun terjadi perdebatan antara mereka berdua, mereka tetap sahabat dekat. Bersamaan dengan Ulama yang lainnya, kedua kaum yang dianggap tidak akan pernah akur ini justru bahu-membahu mengantarkan Minangkabau ke masa-masa puncak intelektualitasnya.

Ulama lain, Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) yang juga semasa dengan mereka tampak tidak terlalu menajamkan perselisihan antara kaum muda dan kaum tua karena pada dasarnya ulama-ulama yang digolongkan sebagai kaum muda dan tua adalah sahabat yang sedang berbeda pendapat mengenai isu-isu yang berkembang saat itu.

Majalah al-Bayan yang dipimpin Inyiak Parabek adalah salah satu bukti kuat bahwa Syekh Ibrahim Musa tidak terlalu ambil pusing masalah-masalah khilafiyah yang berkembang. Fokus tulisan yang dimuat dalam surat kabar al-Bayan kebanyakan adalah soal kajian hukum Islam dan akhlak.

Hamka menjelaskan kedekatan yang hangat sudah terjalin antara ayahnya, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, dan Syekh Ibrahim Musa dalam satu bab orang yang menentangnya di dalam buku yang berjudul “Ayahku”. Sikap Belanda waktu itu yang dianggap mulai agak lain kepada Umat Islam mulai merapatkan barisan semuanya, membuat tiga tokoh ini berjanji akan membawa umat ini menuju satu tujuan yang disepakati bersama yaitu persatuan dan pangkal persatuan sangat mudah menurut Hamka yaitu dengan kerap kali kita sejalan (berdialog).

Ada yang bilang bahwa sejarah akan terulang dengan pola yang sama tapi dengan tokoh yang berbeda. Agaknya, pepatah itu benar adanya bahwa dewasa ini apa yang terjadi pada masa lampau seolah dejavu. Namun, jika yang berseteru pada zaman dahulu adalah tokoh yang memiliki intelektualitas tinggi sekarang yang berseteru adalah orang yang punya intelektualitas yang cetek, ilmu yang dangkal, dan sedikit baca.

Orang-orang itu adalah yang belajar hanya kepada guru yang dia senangi dan dia percaya bahwa dialah orang yang menyampaikan kebenaran absolut, yang berlainan pendapat adalah salah dan sudah keluar dari kebenaran. Orang-orang itu adalah yang belajar pakai satu buku tanpa membaca buku yang lainnya. Dengan modal seperti itu, sangat mudah bagi mereka membuat fatwa yang keliru dan mudah menyesatkan orang lain hanya karena berbeda sudut pandang. Agama itu luas. Mempersempit agama hanya akan membuat kita menjadi susah dan kesulitan. Padahal, Tuhan ciptakan kemudahan dalam agama itu sendiri. Fasʾalū ahl al-dzikr in kuntum lā taʿlamūn (Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui).

Menuju ke zaman sekarang, seyogyanya masyarakat Minangkabau sudah banyak mendapatkan pelajaran dan hikmah dari apa yang terjadi pada masa lalu. Perdebatan dan perbedaan yang eksis sekarang ini semestinya tidak dibawa terlalu dalam sehingga mengakibatkan putusnya tali silaturahmi antara sesama. Putusnya tali silaturahmi merupakan tanda orang yang tidak akan masuk surga sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Nabi “tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.”

Klaim kebenaran dan pemegang pintu surga mestinya dibuang jauh-jauh. Persoalan politis juga semestinya disikapi dengan arif dan bijak, permasalahan-permasalahan kecil seperti amaliyah fikih yang berbeda sudah mesti disikapi sewajarnya. Sebagai masyarakat Minangkabau sudah semestinya falsafah Minangkabau tentang hubungan baik antar manusia itu dilaksanakan. Petatah-petitih yang biasa disebut dan dilantunkan itu tidak boleh hanya sebagai bualan semata, dia mesti direpresentasikan kedalam tiap-tiap diri orang Minangkabau.*

5.9.22

Buya Syafii Maarif II : Cinta Damai dan Sederhana

Syafii Maarif atau yang biasa dipanggil Buya Syafii telah wafat beberapa bulan yang lalu. Namun bekas perjuangannya masih tampak dan selalu diingat oleh Bangsa Indonesia. Banyak tokoh memberikan testimoni positif untuk Buya terutama sifat dan kepribadiannya yang bersahaja.

Tidak sedikit tauladan yang bisa dinapak-tilasi dari sosok Buya Syafii. Namun tauladan yang sangat berharga dari Buya adalah perjuangannya untuk menggaungkan perdamaian di Indonesia. Pikirannya untuk Indonesia yang anti-kekerasan dalam beragama membuatnya populer dan dihargai banyak kalangan.

Melalui buku-buku yang ditulisnya nampak bahwa yang diinginkan oleh Buya hanyalah negeri yang damai dan dirahmati Tuhan yang Maha Esa (baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr). Di antara buku yang pernah Buya tulis adalah Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Menerobos Kemelut: Refleksi Cendekiawan Muslim, dan masih banyak yang lainnya.

Di tengah upaya normalisasi dan pewajaran kekerasan atas nama agama bahkan sampai yang paling ekstrim sampai melakukan tindak pidana terorisme, Buya hadir sebagai pengingat bahwa pembunuhan atas nama apapun tidak dibenarkan dan dikutuk keras dalam agama. Upaya untuk meng-kontekstualisasi-kan ayat al-Quran tentang kekejian pembunuhan orang yang tidak bersalah adalah salah satu bentuk perjuangan Buya untuk bangsa ini dalam membumikan al-Quran tidak hanya sebagai bacaan, namun lebih jauh kontekstualisasi al-Quran sebagai semangat juang untuk menentang kekerasan lewat pemahaman yang komprehensif.

Fenomena kekerasan atas nama agama beberapa kali terjadi di Indonesia seperti bom bunuh diri yang terjadi di Bali, Makassar, Yogyakarta, atau di kota-kota lainnya memperlihatkan betapa masih ada orang yang bertindak bodoh dan dengan percaya dirinya dengan ilmu yang dangkal menghilangkan nyawa orang lain atas nama jihad di jalan Tuhan. Padahal, tuntunan al-Quran sangat jelas terkait hal itu. 

Upaya brainwashing bahwa agama sedang diserang oleh orang kafir yang akan menghancurkan Islam dan menghilangkan agama Islam di atas dunia ini, atau bahwa agama betapa dalam ancaman misionaris yang secara terang-terangan melakukan pemurtadan masal, atau alasan yang lain yang membuat framing bahwa agama Islam sedang dihancurkan sistematis masih dilakukan beberapa oknum untuk mendapatkan pengantin-pengantin bom bunuh diri atau minimal mendapatkan simpati khususnya dari Masyarakat Muslim.

Sebelum hal itu terjadi, bangsa Indonesia mendapatkan amanat untuk melanjutkan perjuangan Buya Syafii bahwa betapa perdamaian itu sangat mahal harganya. Melalui hal-hal kecil seperti kampanye anti-kekerasan, pentingnya pemahaman agama yang komprehensif khususnya di bab jihad, pentingnya memilih guru agama yang moderat dan toleran terhadap sesama, dan yang lainnya perlu untuk digaungkan sebagai napak-tilas sosok Buya Syafii sebagai orang yang cinta damai.

Meskipun sangat dihormati dan disegani, Buya tetap bertahan dengan sikap tawadu dan gaya hidup sederhana. Kesederhanaannya tampak terlihat ketika Buya menaiki krl menuju Istana Presiden di Bogor untuk menghadiri pertemuan penting beberapa anggota BPIP yang lain dengan Presiden Jokowi. Sebagai anggota BPIP, Buya tidak mau dilayani dan diistimewakan. 

Potret sederhananya Buya Syafii Maarif yang lain adalah ketika Buya terlihat mengayuh sepeda di komplek perumahan Nogotirto sebagaimana yang diupload oleh salah satu akun twitter dengan caption “Saya enggak berani menyalip pengendara sepeda bertopi merah ini, ketemu di Kompleks Perumahan Nogotirto. Semoga Buya selalu diberi kesehatan, berkah.  Ya beliau Buya Ahmad Syafii Maarif.’ 

Contoh lain ketika ikut mengantri lama di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah (Deni Asyari) yang ketika itu menemaninya, disuruh pulang karena harus antri lama sebagaimana dikutip dari Suara Muhammadiyah.

Sebagai generasi muda Indonesia baik itu generasi millennial ataupun gen Z sewajarnya membaca Buya Syafii sebagai contoh dan tauladan serta pembawa peradaban baru yang lebih beradab dan saling menghormati, penggema anti-kekerasan dan cinta perdamaian, dan sosok yang teduh dan pemaaf. Sebagaimana pidato Bung Karno “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, Buya adalah bagian penting dalam sejarah Indonesia. Tapak-tilas perjuangan Buya adalah tanda dan bukti bahwa kita sebagai anak muda Indonesia tidak meninggalkan sejarah Bangsa ini.*

4.9.22

Menilai Pemikiran Seseorang Terhadap Agama Menurut Yūsuf al-Qaraḍāwī

Pemahaman terhadap al-Quran dan Hadis (naṣ) harus memperhatikan tujuan syariat (maqāṣid al-syarīʿah) yang menjadi maksud yang dikehendaki oleh naṣ baik itu dalam bentuk perintah, larangan, dan hal-hal yang diperbolehkan. Al-Qaraḍāwī mengklasifikasikan pola pemikiran seseorang dalam memahami tujuan syariat ini menjadi tiga kelompok yaitu literalis, liberalis, dan moderat.

Literalis adalah orang-orang berpegang teguh dengan pemahaman literal terhadap naṣ tanpa melihat tujuan-tujuan syariat (maqāṣid al-syarīʿah). Sebagiannya dapat diidentifikasi melalui kajian-kajian keagamaan yang keras dan sebagian lain melalui pemikiran politik seperti Hizbut Tahrir. Pemikiran ini sangat terkenal dengan pemikiran yang jumud (kaku). Beberapa karakternya adalah; pemahaman dan tafsiran yang harfiah, cenderung untuk mempersulit dan menyusahkan, sangat fanatik dengan pendapat kelompok mereka sampai mengklaim kebenaran mutlak, tidak memperdulikan dan sangat menolak pendapat yang lain, penolakan bisa saja sampai batas mengafirkan, dan tidak peduli terhadap dampak dari fitnah agama, mazhab, dan lainnya.

Liberalis adalah orang-orang yang tidak menghiraukan naṣ, bahkan sengaja untuk mengesampingkan naṣ, dan mengklaim hal itu demi kemaslahatan umum dan kepentingan umat. Pemikiran ini menafikan ilmu fikih dan ilmu uṣūl fikih serta cukup hanya memperhatikan maslahat. Diantara karakteristiknya adalah; ketidak-tahuannya dalam ilmu syariah seperti tafsir, hadis, fikih, uṣūl fikih, bahasa Arab dan ilmunya dsb., menukil banyak pendapat tanpa mengetahui konteksnya, dan ikut-ikutan gaya pemikiran barat.

Moderat adalah orang-orang yang metodenya meringankan, menjembatani dua pemikiran literal dan liberal, dan mengaitkan naṣ dengan konteks beserta tujuannya. Diantara beberapa karakteristik pemikiran moderat adalah; mereka meyakini adanya tujuan-tujuan (maqāṣid) yang terkandung dalam syariat; menghubungkan antara naṣ beserta hukumnya dengan yang lain; melihat persoalan agama dan dunia secara seimbang; memperhatikan realitas dalam mengaplikasikan teks; mengedepankan sikap yang mempermudah; terbuka untuk berdialog, dan toleransi terhadap pendapat yang lain.*

28.5.22

BUYA SYAFII MAARIF: WARISAN PEMIKIRAN GURU BANGSA INDONESIA

Kabar duka datang bahwa Buya sudah wafat pada Jumat, 27 Mei 2022. Buya memang sudah sakit beberapa tahun terakhir ini berdasarkan yang kita dengar dari pemberitaan tanah air, lalu Buya pergi meninggalkan kita semua. Jasad dan nyawa Buya boleh sudah berpisah, namun warisan pemikiran tentang pluralisme dan toleransi tidak akan berpisah dengan kita, Bangsa Indonesia.

Sebagai guru bangsa, kita tahu arah pemikiran Buya adalah untuk menghargai kemajemukan bangsa. Buya menghilangkan batas agama, suku, ras, dan ormas untuk ketahanan dan kepaduan negara ini. Tanpanya, kita sebagai bangsa mungkin sudah terkoyak dan tercerai karena keegoisan agama, suku, ras, dan ormas. Suara lantang Buya untuk melawan diskriminasi dari dulu hingga sekarang adalah bukti nyata untuk Indonesia yang lebih damai.

Buya juga kritis. Buya tidak segan-segan mengkritik orang lain atau lembaga terhadap hal-hal yang dia yakini sudah keluar jalur dan terlewat batas. Bahkan kepada orang yang terdekat sekalipun seperti Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia sekalipun. Isunya pasti tentang pluralisme dan toleransi.

Bagi Buya, agama mesti termanifestasi dalam kehidupan setiap yang beragama. Perintah agama tentang menghargai sesama dan toleransi terhadap perbedaan adalah perintah Tuhan yang paling dekat dengan kita namun kita alpa, masih jauh panggang daripada api. Hadirnya Buya mungkin adalah karunia Tuhan kepada Bangsa sebagai penyampai pesan perdamaian.

Dilihat di sisi lain, Buya adalah orang yang sangat sederhana. Kesederhanaannya tergambar saat naik Kereta Rel Listrik (KRL) ke Istana Bogor atau bersepeda untuk menghadiri acara penting. Kesederhanaanya dikagumi dan dihormati. Sangat bertolak belakang dengan oknum petinggi agama yang mengajarkan tentang hidup zuhud, sederhana, dan tidak duniawi-oriented, namun dia sendiri sangat silau dengan kemewahan. lima taqūlūna mā lā tafʿalūn? (kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?) QS. al-Ṣaff: 2.

Selamat jalan Guru Bangsa. Warisan pemikiranmu adalah semangat kami untuk Indonesia yang damai dan toleran.